EVIDENCE BASED KMB 1 SISTEM PERSYARAFAN. Ns. ISNANIAR, S.Kep,M.Kep
1. Efektifitas Neuromuscular Taping Method untuk Memperbaiki Fungsional Otot Wajah pada Bell’s Palsy
Vincentia Kristanti
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes . Volume 13 Nomor 1, Januari 2022
p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778
http://forikes-ejournal.com/index.php/SF
Pemasangan taping dekompresi ini dikenal dengan sebutan neuromuscular taping method (NMT). Bekerja secara eksentrik dan dekompresi untuk mengangkat kulit wajah dan melebarkan ruang interstitial, sehingga dapat meningkatkan sirkulasi, membantu proses penyerapan cairan pada kulit wajah, dan mengurangi tekanan pada area subkutan. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh pemberian neuromuscular taping method dengan keberhasilan fisioterapi pada pasien bell’s palsy. Metode: penelitian ini menggunakan analitik observasional, pemberian program perlakuan menggunakan NMT kepada sampel populasi bell’s palsy yang sesuai dengan kriteria inklusi dalam rentang waktu 3x/minggu selama 2 bulan. Hasil: Berdasarkan analisa data hasil dari evaluasi menggunakan parameter ugo fisch scale dimana terdapat variasi dalam perbaikannya. Pasien S sebelum pemberian perlakuan didapatkan skor nilai 22 dan hasil setelah pemberian perlakuan Terapi 9 didapatkan skor nilai 100. Pada pasien B sebelum pemberian perlakuan didapatkan skor nilai 34 dan hasil setelah pemberian perlakuan Terapi 9 skor nilai 100. Pada pasien R sebelum pemberian perlakuan nilai skor 58 dan setelah pemberian perlakuan Terapi 5 skor nilai 100. Pada pasien F sebelum pemberian perlakuan nilai skor 70 dan setelah pemberian perlakuan Terapi 5 skor nilai 100. Kesimpulan: NMT konsisten memberikan peningkatan untuk memperbaiki fungsional otot wajah pada penderita bell’s palsy ini didasari oleh hasil dari evaluasi menggunakan parameter ugo fisch scale dimana terdapat variasi dalam perbaikannya. Saran: Perlu dilakukan program NMT ini kepada penderita bell’s palsy lainnya agar dapat mengetahui hasil peningkatan program fisioterapi yang signifikan dan cepat.
2. Kajian Penggunaan Antibiotik pada Pasien Meningitis dan Ensefalitis Bakteri di Bangsal Rawat Inap Rumah Sakit Rujukan Utama
Diyan Ajeng Rossetyowati1,4*, Ika Puspitasari2 , Tri Murti Andayani2 , Titik Nuryastuti3
Pharmacon: Jurnal Farmasi Indonesia. Vol 18, No 2, (2021). ISSN 1411-4283
Available online at: http://journals.ums.ac.id/index.php/pharmacon
Pemberian terapi antibiotik untuk pasien meningitis dan ensefalitis bakteri yang kurang tepat merupakan salah satu hal yang dapat membahayakan bagi keselamatan pasien dan menjadi permasalahan bidang kesehatan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Fenomena tersebut berpotensi meningkatkan biaya kesehatan yang seharusnya dapat dihindari di era implementasi program JKN. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi profil penggunaan dan biaya antibiotik pada pasien meningitis dan ensefalitis bakteri yang menjalani rawat inap. Penelitian observasional ini dilakukan secara cross sectional selama Januari – Desember 2019. Rekam medis pasien serta data tagihan biaya perawatan (billing) pasien digunakan sebagai bahan penelitian. Konfirmasi dengan tenaga medis dan tenaga kefarmasian untuk memperkuat hasil data yang diperoleh. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan penggunaan antibiotik dan biaya. Sebanyak 71 pasien anak dan dewasa memenuhi kriteria inklusi penelitian ini. Seluruh pasien mendapatkan antibiotic, dari hasil diketahui sefalosporin generasi ketiga (49.375%) merupakan golongan antibiotik yang paling banyak diresepkan baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi. Rata-rata pembiayaan obat dialokasikan untuk penggunaan antibiotic yaitu 46.94%. Berdasarkan kategori lama perawatan, pasien dengan jumlah lebih besar menjalani rawat inap selama 8 – 14 hari berturut turut (45.99%) dengan terapi antibiotik secara berturut-turut. Penggunaan antibiotik yang lazim diberikan kepada pasien meningitis dan ensefalitis bakteri tidak memperpendek lama tinggal di rumah sakit. Peresepan antibiotik pada perlu dipertimbangkan lebih lanjut dengan mempertimbangkan peta kuman lokal tentunya pada top referral hospital.
3. Pengaruh Kekurangan Nutrisi Terhadap Perkembangan Sistem Saraf Anak
Gianfranco S. Papotot,1 Ronald Rompies,2 Praevilia M. Salendu2
pISSN 2085-9481 eISSN 2597-999X Jurnal Biomedik. 2021;13(3):266-273
Terakreditasi Nasional: SK Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan
DOI: https://doi.org/10.35790/jbm.13.3.2021.31830
KemenRistekdikti RI no. 28/E/KPT/2019
Available from:https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/index
Di negara berkembang kekurangan gizi memberikan kontribusi terhadap tingginya rata-rata angka kematian. Usia anak-anak, jarak kelahiran sebelumnya, status pendidikan ibu, status kekayaan, dan wilayah merupakan faktor yang secara independen terkait dengan status gizi anak-anak. Seribu hari pertama kehidupan merupakan masa kritis bagi perkembangan saraf anak. Pertumbuhan fisik, fungsi kognitif otak, fungsi fisiologis dan perubahan respon imun bisa terganggu karena kurangnya gizi di usia dini. Di negara berkembang anak di bawah 5 tahun memiliki prevalensi sekitar 27% kekurangan gizi. Tujuan Penelitian untuk mengetahui hubungan dan pengaruh kekurangan nutrisi pada perkembangan sistem saraf anak. Penelitian ini dalam bentuk literature review. Literatur diambil dari tiga database yaitu PubMed, ClinicalKey dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan yaitu undernutrition AND neurological disorders AND children. Setelah diseleksi dengan kriteria inklusi dan ekslusi, didapatkan 10 literatur yag terdiri dari sepuluh penelitian cross-sectional study. Hasil penelitian menunjukan 10 literatur meneliti hubungan dan pengaruh kekurangan nutrisi terhadap perkembangan sistem saraf anak. Sebagai simpulan, kekurangan nutrisi dan kelainan sistem saraf pada anak memiliki hubungan yang saling memengaruhi satu sama lain. Anak yang mengalami kekurangan nutrisi memiliki pengaruh pada perkembangan sistem saraf dan terbanyak pada kelainan motorik dan kognitif.
4. PERAN NEUROPROTEKTOR ASTAXANTHIN DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT ALZHEIMER
Leonardo Arwin*, Jihan Nur Pratiwi
Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa Volume 3 No 1, Hal 47 – 52, Februari 2020
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah
e-ISSN 2621-2978 p-ISSN 2685-9394
Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang terjadi secara bertahap dan progresif disebabkan oleh kematian sel neuron. Bertambahnya usia, cidera kepala traumatis, depresi, penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, usia orang tua yang lebih tinggi, merokok, riwayat keluarga demensia dapat meningkatkan risiko penyakit. Alzheimer tidak dapat disembuhkan, namun terdapat beberapa obat yang dapat mengatasi gejala simptomatis dari penyakit ini seperti inhibitor colinesterase dan N-metil D-aspartat (NMDA) parsial. Astaxanthin diketahui memiliki kandungan antioksidan dan antiinflamasi sepuluh kali lebih kuat dari kelompok karoten lain. Sehingga dapat menjadi neuroprotektor dengan meningkatkan pembersihan Aβ, melindungi viabilitas sel dari kerusakan yang disebabkan oleh Ab25-35, dan menghambat ekspresi IL-1b dan TNF-a. Tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk melaporkan temuan ilmiah terbaru tentang peran protektif dan kuratif astaxanthin pada otak manusia terhadap peradangan saraf, stres oksidatif dan, lebih umum, pada efek menguntungkan bagi pasien dengan gangguan neurodegeneratif seperti Alzheimer. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah penelusuran artikel melaui database NCBI dan Google Scholar. Tahun penerbitan sumber pustaka adalah dari tahun 1997 sampai tahun 2019 dengan 24 sumber pustaka. Tema yang dikumpulkan terkait dengan mekanisme neuroprotektor astaxanthin terhadap Alzheimer. Hasil dari sintesis artikel yang telah ditemukan yaitu astaxanthin dapat mencegah kerusakans sel otak sebagai pencegahan Alzheimer.
5. Literature Review Efektivitas Latihan Aerobik Dalam Meningkatkan Fungsi Motorik Pada Lansia Dengan Penyakit Parkinson
Linlin Lindayani1 *, Dewi Marfuah2, Diwa Agus Sudrajat3, Eva Supriatin4
Risenologi September 2021 p-ISSN: 2502-5643 | e-ISSN: 2720-9571
Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang disebabkan oleh adanya penurunan jumlah dopamin di otak yang berperan dalam mengendalikan gerakan akibat kerusakan sel saraf di Substansiaigra Pars compacta (SNc) di batang otak serta adanya agregasi protein abnormal berupa Lewy bodies, yang mengandung α-synuclein. Karakteristik penyakit Parkinson ditandai oleh adanya gejala motorik dominan berupa tremor pada saat istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refeks postural tubuh. Rehabilitasi fisik umumnya dapat digunakan pada pasien dengan penyakit Parkinson untuk meningkatkan kesehatan dan meringankan gejalanya. Latihan aerobic dipercaya dapat mendorong kebugaran penderita Parkinson dan meningkatkan fungsi motoric pada lansia dengan penyakit Parkinson. Tujuan literature review ini adalah untuk mengetahui efektifitas pemberian latihan aerobic dalam meningkatkan fungsi motoric pada lansia dengan penyakit Parkinson. Strategi pelaksanaan menggunakan teknik literature review yang didapatkan melalui proses pencarian daring pada jurnal-jurnal penelitian terkait yang sudah ada sebelumnya. Pencarian dilakukan melalui database PubMed. Pemberian latihan aerobic efektif meningkatkan fungsi motoric pada lansia dengan penyakit Parkinson.
6. FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEJADIAN EPILEPSI INTRAKTABEL ANAK DI RSUP DR KARIADI SEMARANG
Nuh Gusta Ady Yolanda1 , Tun Paksi Sareharto 2, Hermawan Istiadi 3
JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO Volume 8, Nomor 1, Januari 2019
Online : http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico ISSN Online : 2540-8844
Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang ditandai dengan gejala khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Salah satu pengobatan epilepsi adalah OAE. Pada keadaan dimana telah mengonsumsi 2 atau lebih jenis OAE secara teratur dan adekuat selama 18 bulan namun tidak menunjukkan penurunan frekuensi dan durasi kejang, hal ini disebut dengan epilepsi intraktabel. Pengetahuan mengenai faktor yang berpengaruh pada kejadian epilepsi intraktabel anak penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan pasien agar lebih komprehensif dan adekuat. Tujuan : Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi kejadian epilepsi intraktabel pada pasien anak dengan epilepsy Metode : Penelitian observasional analitik dengan desaim cross sectional. Subjek penelitian sebanyak 38 pasien epilepsi yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Bahan penelitian diambil dengan kuesioner oleh orangtua pasien dan rekam medik, data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil : Dari 38 subjek penelitian, angka kejadian epilepsi intraktabel adalah 13 subjek (34,2%). Pada analisis bivariat didapat faktor risiko yang berhubungan adalah etiologi (p=0,017) dan abnormalitas neurologi (p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan faktor abnormalitas neurologi (OR 37,67 IK95% 1,27-1111,04) sebagai faktor risiko yang signifikan. Simpulan : Angka kejadian epilepsi intraktabel anak sebesar 34,2% dan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak adalah abnormalitas neurologi.
7. PERAN USIA AWITAN KEJANG DALAM EPILEPSI INTRAKTABEL PADA PASIEN EPILEPSI
Aprin Nabila Rahmat
Jurnal Penelitian Perawat Profesional Volume 3 Nomor 3, Agustus 2021
e-ISSN 2715-6885; p-ISSN 2714-9757 http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP
Epilepsi merupakan suatu penyakit neurologi yang ditemukan pada semua umur yang ditandai dengan gejala khas berupa kejang berulang yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik pada neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Salah satu pengobatan pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian obat antiepilepsi. Pada keadaan di mana pasien telah mengonsumsi dua atau lebih jenis obat antiepilepsi secara teratur dan adekuat selama 18 bulan tetapi tidak terdapat penurunan frekuensi atau durasi kejang, hal ini disebut dengan epilepsi intraktabel. Beberapa studi pada epilepsi intraktabel ditemukan usia awitan kejang yang lebih muda. Oleh karena itu, literature review ini bertujuan untuk menentukan apakah usia awitan kejang berperan dalam terjadinya epilepsi intraktabel pada pasien epilepsi. Metode yang digunakan adalah metode literature review dari 30 artikel PubMed NCBI, dan Google Schoolar dengan kata kunci “epilepsil”, “intraktabel”, “kejang”, dan “usia” dari tahun 2002 hingga 2019 dan hanya diambil sekitar 19 artikel terpilih. Dari beberapa penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa usia awitan kejang berperan untuk terjadinya epilepsi intraktabel pada pasien epilepsi.
8. Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit Saraf Pusat Manusia Dengan Metode Certainty Factor
1Nelasari Situmeang,2 Sulindawaty
Riset dan E-Jurnal Manajemen Informatika Komputer Volume 4, Number 1, Oktober 2019
http://doi.org/10.33395/remik.v4i1.10224 e-ISSN : 2541-1330 p-ISSN : 2541-1332
Penyakit saraf pusat adalah sekelompok gangguan neurologis yang memengaruhi struktur atau fungsi otak atau sumsum tulang belakang, yang secara kolektif membentuk sistem saraf pusat. Masyarakat pada umumnya masih banyak merupakan orang awam yang kurang memahami kesehatan saraf, sehingga banyak dari mereka mengabaikan gejala yang dialami dan mungkin merupakan gejala penyakit saraf pusat. Hal ini mungkin dikarenakan mahalnya biaya konsultasi, dan belum lagi dokter yang sulit ditemui karena faktur waktu. Didalam berbagai bidang pemanfaatan teknologi telah berkembang pesat, salah satunya adalah dalam bidang kesehatan, teknologi yang dimaanfaatkan salah satunya adalah sistem pakar. Sistem pakar adalah program komputer yang mempresentasikan dan melakukan penalaran dengan pengetahuan beberapa pakar untuk memecahkan masalah-masalah atau memberikan solusi. Perkembangan teknologi seperti sistem pakar ini tentunya juga didukung oleh metode dalam melakukan diagnosa, seperti Metode Certainty Factor. Untuk membuatkan sistem pakar yang dapat membantu masyarakat dalam konsultasi tentan penyakit saraf pusat yang dialami maka dirancang Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit Saraf Pusat Manusia Dengan Metode Certainty Factor.
9. Kajian potensi antioksidan dari tanaman herbal dan pengaruhnya terhadap penyakit Parkinson
Indri Nuraeni Pratiwi, Widhya Aligita*, Marita Kaniawati
Jurnal Ilmiah Farmasi (Scientific Journal of Pharmacy) 17(1) Januari-Juli 2021, Hal.x-y
ISSN: 1693-8666 available at http://journal.uii.ac.id/index.php/JIF
Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif paling umum yang mempengaruhi lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia. Penyakit ini ditandai dengan kerusakan neuron dopaminergik secara progresif di substansia nigra. Kerusakan tersebut dapat dipicu oleh penuaan dan adanya stres oksidatif akibat adanya radikal bebas. Antioksidan mampu menghambat pembentukan radikal bebas dan mengurangi stres oksidatif, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengobatan penyakit Parkinson. Tujuan: Review artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh antioksidan dari beberapa tanaman herbal terpilih terhadap penyakit Parkinson. Metode: Penelitian ini menggunakan metode studi literatur yang bersumber dari jurnal ilmiah nasional maupun internasional yang diterbitkan 5 tahun terakhir (2016-2020). Pencarian literatur dilakukan dengan menggunakan database seperti Google Scholar, PubMed®, ScienceDirect, dan Portal Garuda. Hasil: Kandungan antioksidan yang tinggi dapat melindungi sel saraf dari kerusakan oksidatif dan mampu mengurangi gejala seperti tremor, kekakuan otot, gangguan koordinasi, dan keseimbangan motorik pada hewan uji. Kesimpulan: Antioksidan alami dari tanaman herbal terbukti mampu mencegah terjadinya stres oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas dan mengurangi gejala dari penyakit Parkinson.
10. Gambaran Pengetahuan Lansia Penderita Stroke Berdasarkan Karakteristik Di Puskesmas Sialang Buah Tahun 2021
Indra Hizkia P 1 , Tresa Ernika Anglina Sitorus 2
HUMANTECH JURNAL ILMIAH MULTI DISIPLIN INDONESIA
VOL 2 SPECIAL ISSUE 2 2022 E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620
Stroke merupakan gejala yang terjadi akibat gangguan sirkulasi darah di otak. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia, 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke setiap tahun. Stroke merupakan penyakit yang sangat rentan dialami lansia. Tujuan : Untuk mengetahui pengetahuan lansia penderita stroke berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan di puskesmas sialang buah tahun 2021. Metode :menggunakan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah 220 lansia penderita stroke dan jumlah responden sebanyak 69 orang dengan teknik consecutive sampling. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner gambaran pengetahuan lansia penderita stroke berdasarkan karakteristik. Hasil penelitian :sebagian besar pengetahuan cukup dengan jumlah responden 40 orang (58,0 %). Kesimpulan Pengetahuan lansia penderita stroke berdasarkan karakteristik di Puskesmas Sialang Buah Tahun 2021 adalah sebagian besar adalah cukup, dipengaruhi oleh factor usia dan pendidikan. Disarankan kepada petugas kesehatan untuk meningkatkan penyuluhan kesehatan kepada lansia tentang penyakit stroke, karena banyak yang memiliki pengetahuan cukup tentang stroke.
11. Pendampingan Lansia dalam Pelayanan Keperawatan Mandiri Dengan Masalah Nyeri Kronik
Syaifurrahman Hidayat1)Mujib Hannan2)
ISSN : 2621-9379 (Online) Jurnal Abdiraja Volume 5, Nomor 1, Maret 2022,
Penurunan fungsi biologis dalam proses menua mengakibatkan kerusakan jaringan organ tubuh pada lansia sehingga menyebabkan lansia mudah terkenan penyakit, diantaranya nyeri kronik, Manajemen nyeri pada lansia dengan osteoartristis dimasyarakat Sebagian besar menggunakan obat Pereda nyeri, dan jarang menggunakan terapi non farmakologis, padahal penggunaan manajemen nyeri non farmakologis mempunyai resiko efek samping obat yg lebih kecil. Solusi yang perlu di lakunan yaitu Pendampingan Lansai Dalam Pelayanan Keperawatan Mandiri Dengan Masalah Nyeri Kronik. Metode pelaksanannya dengan melakukan penyuluhan kesehatan pada keluarga lansia, pendampingan penatalaksanaan nyeri kronik secara mandiri, Membatu Menyusun program posyandu lansia tentang penatalaksanaan nyeri kronik dan melakukan pelatihan bagi kader kesehatan lansia. Hasil pelaksanaan pendampingan pada lansia dilakukan dalam empat kegiatan diantaranya penyuluhan kesehatan pada lansia dan keluarga lansia, pendampingan penatalaksanaan nyeri kronik secara mandiri, pengoptimalan program posyandu lansia tentang penatalaksanaan nyeri dan pelatihan bagi kader kesehatan lansia. Pendampingan lansia dalam pelayanan keperawatan mandiri sebagai bagian upaya pengembangan SDM dalam meningkatkan penanganan masalah yang terjadi pada lansia salah satunya nyeri kronik pada lansia yaitu dengan pelayanan keperawatan mandiri yang dapat dilakukan dirumah, sehingga menjadi bagian dari upaya promotive dan preventif.
12. EDUKASI MENGENAI NYERI PUNGGUNG BAWAH (NPB) PADA PASIEN POLI SARAF RUMAH SAKIT UNIVERSITAS MATARAM
Muhammad Ghalvan Sahidu, Ilsa Hunaifi, Herpan Syafii Harahap
JURNAL ABDI INSANI UNIVERSITAS MATARAM Volume 8, Nomor 3, Desember 2021
Homepage : http://abdiinsani.unram.ac.id. e-ISSN : 2657-0629
Keluhan nyeri punggung bawah (NPB) sering dijumpai pada praktik sehari-hari. Sebanyak 17-31% dari total populasi pernah mengalami NPB semasa hidupnya. Hal tersebut menyebabkan penurunan kualitas hidup serta memiliki dampak sosial dan ekonomi yang buruk. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat awam mengenai nyeri punggung bawah dan bagaimana pencegahannya. Pengabdian ini dilaksanakan di poli saraf Rumah Sakit Universitas Mataram. Sebanyak 13 pasien saraf yang berada di depan poli mengikuti kegiatan, yang meliputi pre-test, penyuluhan dalam bentuk slide mengenai nyeri punggung bawah (NPB), dan diakhiri dengan post-test. Soal-soal pre-test dan post-test yang diberikan adalah 10 butir soal jenis pilihan ganda seputar penyakit nyeri punggung bawah (NPB), dan diambil nilai rerata nya. Dalam kegiatan ini, dapat dipaparkan perbedaan rerata nilai pre-test dan post-test pada pasien, antara lain rerata 76.9 untuk pre-test dan 82.2 untuk post-test. Sebanyak 9 pasien (60%) mengalami peningkatan nilai atau pengetahuan, dan 3 pasien (23%) tidak menunjukkan adanya peningkatan, 1 pasien yang pre-test dan post-test nya mendapat nilai sempurna (100), dan nilai post-test yang lebih rendah dari nilai pre-test sebanyak 1 pasien (7%). Dalam kegiatan pengabdian ini menunjukkan bahwa komunikasi, informasi, dan edukasi merupakan solusi yang efektif untuk meningkatan pengetahuan pasien. Pengabdian ini merupakan langkah awal untuk kegiatan intervensi promosi yang perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan serupa pada populasi yang lebih luas, sehingga upaya penemuan penyakit NPB menjadi meningkat dan luaran klinis penderitanya menjadi lebih baik.
13. PENERAPAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF UNTUK MENGATASI MASALAH KEPERAWATAN NYERI KEPALA(CEPHALGIA/HEADACHE) DI RUANG PENYAKIT SARAF RSUD JEND. AHMAD YANI KOTA METRO
Mala Amelia Apriliani1, Indhit Tri Utami2 , Nury Luthfiyatil Fitri3
Jurnal Cendikia Muda Volume 2, Nomor 2, Juni 2022 ISSN : 2807-3469
Nyeri kepala merupakan kondisi yang disebabkan karena kondisi benigna atau patologis, kondisi intrakranial atau ekstrakranial, penyakit pada sistem anggota tubuh lainnya, stres, ketegangan muskuloskeletal, atau gabungan dari kondisi tersebut. Penerapan relaksasi otot progresif bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan nyeri kepala pada pasien cephalgia. Metode pada penerapan ini menggunakan desain studi kasus (case study). Subjek yang digunakan yaitu pasien cephalgia dengan masalah keperawatan nyeri. Analisa data dilakukan menggunakan analisa deskriptif. Hasil penerapan menunjukkan bahwa setelah dilakukan penerapan relaksasi otot progresif selama 3 hari, terjadi penurunan skala nyeri, pada subjek I terjadi penurunan skala nyeri dari skala nyeri 6 menjadi skala nyeri 3. Sedangkan pada subjek II terjadi penurunan skala nyeri dari skala nyeri 6 menjadi skala nyeri 1. Penerapan relaksasi otot prograsif ini berhasil menurunkan nyeri kepala. Bagi pasien cephalgia hendaknya dapat menerapkan teknik relaksasi otot progresif untuk menurunkan intensitas nyeri.
14. Pendampingan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persyarafan (Stroke Hemoragik) di Ruang Flamboyan RSUD Banjar
Nea Sherina1 , Dadan Ramdan2 , Nur Hidayat3
KOLABORASI Inspirasi Masyarakat Madani Vol. 002, No. 002 PP. 175 – 197 EISSN: 2809 - 0438
Stroke is a rapid and sudden loss of brain function caused by impaired blood flow to the brain (ischemic) or rupture of a blood vessel in the brain (hemorrhagic). clear (pelo), changes in consciousness, visual disturbances, and others. Clinically, the symptoms that often appear in stroke patients are the presence of himiparesis or hemiplagia. Where the occurrence of damage to one side of the brain Objective: This assistance aims to provide nursing care to patients Mr. S with a medical diagnosis of Hemorrhagic Stroke in the Flamboyan Room at the Banjar City General Hospital. Method: Assistance activities are carried out by providing nursing care through 5 processes including assessment, nursing diagnosis, nursing intervention, nursing implementation, and nursing evaluation. Result: The results explain the main problems that arise with the diagnosis of ineffective cerebral tissue risk, physical mobility barriers have not been overcome because the patient died before the intervention was completed. However, the diagnosis of an ineffective breathing pattern is partially resolved because it helps in maintaining O2 in the body. Conclusion: The provision of nursing care with a medical diagnosis of Hemorrhagic Stroke was partially resolved.
15. Sebuah Study Kasus tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persyarafan : Cedera Kepala Ringan
Elisabeth Wahyu Savitri1 , Sisilia2 , Novela Widia3
Elisabeth Health Journal : Jurnal Kesehatan, Vol. 6 No. 2 (Desember, 2021) : 157-159 E-ISSN 2541-4992
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung megenai kepala yang mengakibatkan luka dikulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Putri Rahayu 2016). Pasien yang menggalami cedera kepala akan menggalami pembengkakan otak atau terjadi perdarahan di tengkorak, tekanan intrakardinal akan meningkat dan tekanan perfusi otak akan menurun. Saat keadaan semakin menurun atau kritis maka denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan darah dalam otak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir pada kematian (widyawati, 2012). Menurut WHO meperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab dan trauma ke tiga terbanyak di dunia. Trauma kepala merupakan penyakit yang sering terjadi di zaman modern seperti sekarang . jadi seharusnya setiap individu harus patuh terhadap peraturan dan undang-undang lalu lintas. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia berada pada angka 11,9 %. Cedera kepala pada anggota gerak bawah dan bagian anggota gerak atas dengan prevalensi masing-masing 67,9% dan 32,7%. Kejadian cedera kepala yang terjadi di provinsi bali memiliki prevalensi sebesar 10,7% , dimana provinsi dengan cedera kepala tertinggi yaitu provinsi gorontolo dengan prevalensi 17,9 (Kementrian Kesehatan RI, 2019) Insiden cedera kepala di Kalimantan Barat khususnya di kota Pontianak angka kejadian cedera kepala kepala 11,3% ( RISKESDAS 2018 ). Menurut penelitian yang di lakukan oleh Sutarjo dan Budijanto (2017) cedera kepala dapat menyebabkan pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis. Untuk itu perlu penanganan yang serius dalam memberi Asuhan Keperawatan. Dalam hal ini perawat memegang peranan yang penting terutama dalam pencegahan komplikasi.
16. Diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis sistem saraf pusat
Prima Yogi1*, I Putu Andrika2, I Gede Ketut Sajinadiyasa2, I Made Bagiada2
Intisari Sains Medis 2021, Volume 12, Number 3: 912-916 P-ISSN: 2503-3638, E-ISSN: 2089-9084
Tuberkulosis sistem saraf pusat (SSP) adalah TB ekstrapulmoner yang paling berbahaya. Penyakit ini meliputi meningoensefalitis, tuberkuloma intrakranial, dan vaskulitis. Prevalensi tuberkulosis SSP sekitar 1% dari semua kasus TB dan berhubungan dengan kematian yang tinggi. Meningoensefalitis tuberkulosis biasanya muncul dengan gejala demam, sakit kepala, meningismus, kejang, defisit neurologis fokal, dan penurunan kesadaran. Diagnosis dan pengobatan tuberkulosis SSP masih merupakan tantangan klinis yang berat. Laporan kasus: Seorang pasien datang dengan gejala demam, sakit kepala, meningismus, kejang, dan penurunan kesadaran. CT scan menunjukkan tuberkuloma serebral di lobus parietal kiri. Pemeriksaan tes cepat molekuler cairan serebrospinal menunjukkan Mycobacterium tuberculosis. Pasien diberikan obat anti tuberkulosis kategori 1. Simpulan: Tuberkulosis SSP memiliki gejala yang tidak spesifik, diagnosis sulit, dan mortalitas tinggi. Pada kasus diagnosa tuberkulosis SSP ditegakkan berdasarkan adanya Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan tes cepat molekular CSF, dan CT scan kepala dengan kontras dijumpai tuberkuloma serebral.
17. Penerapan Metode Certainty Factor Pada Diagnosa Penyakit Saraf Tulang Belakang
Adi Sucipto1 , Yusra Fernando2 , Rohmat Indra Borman3 , Nisa Mahmuda4
JURNAL ILMIAH FIFO P-ISSN 2085-4315 / E-ISSN 2502-8332
Dalam menganalisa sebuah informasi dimungkinkan seorang pakar mengungkapkan informasi berupa pernyataan yang tidak pasti seperti mungkin, kemungkinan besar dan hampir pasti. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam mengatasi ketidak pastian adalah metode certainty factor. Certainty factor merupakan metode yang mendefinisikan ukuran kepastian terhadap fakta atau aturan untuk menggambarkan keyakinan seorang pakar terhadap masalah yang sedang dihadapi. Untuk membantu dan mempermudah masyarakat dalam mendiagnosa penyakit saraf tulang belakang dapat menerapkan metode certainty factor pada sistem pakar. Saraf bagian tulang belakang merupakan organ yang penting bagi manusia. Terbatas dan tidak meratanya dokter spesialis saraf tulang belakang di Indonesia mengakibatkan masyarakat kesulitan dalam mendiagnosa penyakit tersebut. Sistem pakar dapat membantu untuk diagnosa penyakit, dimana sistem ini untuk merekonstruksi keahlian dan penalaran kemampuan seorang pakar. Pada penelitian ini, certainty factor diimplementasikan pada aplikasi diagnosa penyakit saraf tulang belakang. Sistem diujicobakan pada sejumlah masukan, hasil pengujian didapatkan memberikan hasil sesuai dengan perhitungan manual. Hasil pengujian dengan uji coba pada sejumlah masukan yang dilakukan didapatkan bahwa pengujian memberikan hasil sesuai dengan perhitungan manual. Sedangkan pengujian akurasi kesesuaian dari data testing yang didapatkan oleh pakar dengan output sistempakar didapatkan hasil output yang sesuai sebanyak sebesar 90%.
18. Penggunaan Asam Valproat pada Pasien Epilepsi di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Tingkat III Brawijaya Surabaya Periode Maret-Agustus 2021
Sri Agustina, Johanes Singoreto Widjaja, Riska Puspasari
CDK-302/ vol. 49 no. 3 th. 2022
Asam valproat (VPA) telah digunakan sebagai obat antikonvulsan selama 40 tahun. Tujuan. Mengetahui pola terapi asam valproat pada pasien epilepsi di poliklinik saraf Rumah Sakit Tingkat III Brawijaya Surabaya. Metode. Penelitian cross-sectional deskriptif non-eksperimental. Data dari rekam medis pasien epilepsi dengan terapi asam valproat periode Maret – Agustus tahun 2021 di Rumah Sakit Tingkat III Brawijaya Surabaya. Hasil. Didapatkan 27 pasien, 16 pasien laki-laki (59,2%), 21 pasien dengan rentang usia 19-65 tahun (77,7%), 23 pasien (85,1%) dengan kategori kejang umum. Politerapi asam valproat pada 14 pasien (51,8%), 9 pasien dengan kombinasi fenitoin. Dosis obat tepat pada 100% pasien, 70,3% pasien memiliki respons klinis terkontrol. Sebagian besar pasien (70,3%) tidak melaporkan efek samping. Simpulan. Penderita epilepsi terutama laki-laki usia 19-65 tahun dengan jenis kejang umum. Jenis terapi terbanyak adalah politerapi kombinasi asam valproat dengan fenitoin. Dosis sudah tepat, sebagian besar tanpa efek samping obat dan respons klinis terkontrol baik.
19. Tomat Bike (Automatic Bike) untuk Stimulasi pada Gangguan Sistem Gerak
Annisa1 ,Ahlul Aulianur2 , Fairuz Luthfiyah3 , Arisul Mahdi4
Jurnal Penelitian Pendidikan Kebutuhan Khusus Volume 7 Nomor 2 Tahun 2019
ISSN: Online 2622-5077 Email: juppekhu@gmail.com
Artikel ini membahas tentang inovasi pembuatan alat terapi untuk stimulasi pada gangguan sistem gerak. TOMAT BIKE atau Automatic Bike merupakan sepeda dengan kayuhan otomatis yang di desain sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan oleh individu yang mengalami gangguan sistem gerak. Metode yang digunakan adalah Assembling Methode yang merupakan proses penggabungan beberapa komponen untuk membentuk suatu konstruksi. Proses perakitan alat dimulai dari pemilihan bahan, pembuatan alat, pengujian alat dan evaluasi. Hasil dari pembuatan alat adalah individu yang mengalami gangguan gerak dapat menggunakan TOMAT BIKE dan pembuatan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau hak cipta.
20. Hubungan antara Gangguan Pola Tidur dengan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom pada Usia Dewasa Muda
Raden Mohamad Fachrur Rozy1 , Nurvita Risdiana1
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan http://journal.umy.ac.id/index.php/mm
Vol 19 No 1 Hal 1-6 Januari 2019
Gangguan pola tidur yang buruk berdampak negatif pada kesehatan yaitu ketidakseimbangan sistem saraf otonom. Ketidakseimbangan sistem saraf otonom akan berdampak pada rendahnya nilai Heart Rate Variability (HRV). Rendahnya nilai HRV akan berdampak pada mortalitas dan morbiditas. Heart Rate Variability terdiri atas time domain dan frekuensi domain. Standard Deviation of All N-N Intervals (SDNN) merupakan bagian dari HRV yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi keseimbangan sistem saraf otonom. Usia dewasa muda rentan mengalami gangguan pola tidur, sehingga pada usia tersebut berisiko terjadi ketidakseimbangan SDNN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola tidur dengan keseimbangan saraf otonom pada dewasa muda. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non eksperimen dengan desain Cross sectional. Uji statistik menggunakan Spearman Rho. Sampel penelitian 31 orang dewasa muda dengan teknik purposive sampling. Data untuk gangguan pola tidur diambil menggunakan kuesioner, sedangkan pengukuran SDNN menggunakan Electrocardiogram (EKG). Didapatkan hasil 64,5% pola tidur pada dewasa muda dalam kategori baik, 35,5% pola tidur mahasiswa dalam kategori cukup, 87,1% mahasiswa memiliki SDNN yang sangat baik dan 9,7% mahasiswa memiliki SDNN tinggi. Hasil uji statistik menggunakan Spearmen Rho diperoleh nilai p= 0,11 (p > 0,05). Disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara gangguan pola tidur dengan kesimbangan saraf otonom.
21. HUBUNGAN FAKTOR INTRINSIK DENGAN KEJADIAN RESIKO JATUH PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS HANDAPHERANG KABUPATEN CIAMIS
Taufik Hidayat 1*);Jajuk Kusmawaty 2 ; Nur Hidayat 3
JURNAL STIKES MUHAMMADIYAH CIAMIS : JURNAL KESEHATAN
Volume 6, Nomor 2, Oktober 2019 ISSN: 2089-3906 EISSN : 2656-5838
Perubahan tersebut berpengaruh terhadap kelelahan fisik, nyeri sendi, gangguan keseimbangan dan koordinasi.Kondisi ini diperberat lagi dengan penglihatan kabur, pendengaran kurang, gangguan adaptasi, dan efek konsumsi obat-obat tertentu yang kesemuanya mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Ada beberapa faktor resiko jatuh salah satunya faktor intrinsik yaitu gangguan hipertensi, gangguan sistem anggota gerak, gangguan sistem syaraf, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran. Metode dalam penelitian ini adalah analitik kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Handherang Kabupaten Ciamis pada tahun 2017 sebanyak 6587 orang Sampel sebanyak 99 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor instrinsik sebagian besar berkategori banyak sebanyak 57 orang (57,6%), kejadian resiko jatuh pada lansia sebagian besar berkategori resiko jatuh tinggi sebanyak 56 orang (56,6%) dan terdapat hubungan yang signifikan antara faktor intrinsik dengan kejadian resiko jatuh pada lansia karena nilai α > ρ value (0,05 > 0,000) dan nilai chi square (χ2) hitung > chi square (χ2) tabel (65,705> 5,991). Saran diharapkan agar lansia untuk memperbaiki pola hidup sehat sehingga menurunkan kejadian resiko jatuh pada lansia
22. STRATEGI MENELAN DAN ORAL MOTOR EXERCISE UNTUK MENCEGAH ASPIRASI PADA PASIEN STROKE
Muhammad Ardi
Jurnal Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar
Vol. 10 No. 01 2019 e-issn : 2622-0148, p-issn : 2087-0035
Stroke merupakan gangguan aliran darah otak yang ditandai dengan hilangnya fungsi sistem saraf fokal dan global yang dimanifestasikan dengan paralisis satu sisi tubuh serta gejala neurologis. Pasien stroke juga sering mengalami kesulitan menelan dan beresiko mengalami aspirasi. Metode studi kasus menggunakan desain deskriptif yang difokuskan pada penerapan strategi menelan dan oral motor exercise untuk mencegah aspirasi. Hasil studi kasus laki-laki berusia 50 tahun tiba-tiba mengalami kelemahan pada tubuh sisi kiri sehingga tidak bisa berjalan disertai mulut mencong dan kesulitan menelan. Tindakan keperawatan untuk mencegah terjadinya aspirasi dengan mengatur posisi semi fowler saat makan dan tetap mempertahankan posisi selama 30-45 menit setelah makan, mengatur posisi kepala (head turn) saat makan/minum, menganjurkan keluarga untuk memberi kesempatan kepada pasien untuk menelan dan memotong kecil makanan, mengajarkan oral motor exercise. Setelah lima hari perawatan pasien masih batuk, keluarga sudah memperhatikan pengaturan posisi saat makan dan minum sehingga pasien tidak tersedak, namun belum bisa mengikuti seluruh rangkaian oral exercise yang baru diajarkan satu kali. Berdasarkan hal tersebut, perawat sebaiknya melakukan screening menelan pada pasien stroke, menerapkan strategi menelan dan oral motor exercise pada pasien stroke yang mengalami gangguan menelan untuk mencegah aspirasi.
23. Neurotransmitter Dalam Fisiologi Saraf Otonom
Iwan Dwi Cahyono*, Himawan Sasongko*, Aria Dian Primatika*
Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume I, Nomor 1, Tahun 2009
Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna memperkirakan efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis. Sistem saraf simpatis dimulai dari medula spinalis segmen torakolumbal. Saraf dari sistem saraf parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui saraf-saraf kranial III, VII, IX dan X serta saraf sakral spinal kedua dan ketiga; kadangkala saraf sakral pertama dan keempat. Kira-kira 75% dari seluruh serabut saraf parasimpatis didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). Sistem saraf simpatis dan parasimpatis selalu aktif dan aktivitas basalnya diatur oleh tonus simpatis atau tonus parasimpatis. Nilai tonus ini yang menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas. Refleks otonom adalah refleks yang mengatur organ viseral meliputi refleks otonom kardiovaskular, refleks otonom gastrointestinal, refleks seksual, refleks otonom lainnya meliputi refleks yang membantu pengaturan sekresi kelenjar pankreas, pengosongan
No comments:
Post a Comment