BERBAGAI SIKAP DAN PERBUATAN KETIKA MENGALAMI PENDERITAAN PENYAKIT
(PENA: Drs. MARIN ARIF, RAHMAT DAN ISNANIAR)
Sakit merupakan gejala natural, yang semua orang akan mengalaminya, karena penderitaan sakit merupakan implikasi dari ketidak seimbangan mekanisme kerja fisik, akibat salah satu organnya terkena gangguan, baik karena serangan virus yang merusak sistem kerjanya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat kerjanya tidak normal, sehingga mengganggu sistem kerja tubuh secara keseluruhan.
Dilihat dari satu segi, sakit merupakan musibah yang menimpa penderita. Akan tetapi disisi lain, sakit merupakan suatu momentum yang akan kembali menyadarkan kita akan kematian, menyadarkan setiap insan untuk selalu berada lebih dekat dengan Tuhan, ingat akan dosa-dosa yang telah dilakukannya sewaktu sehat dan segar, dan ketika dia jaya dalam hidupnya.
Dalam kesempatan seperti itu pulalah setiap penderita kemudian menyesali segala kesalahan yang telah dilaluinya, sehingga sakit menjadi sarana yang dapat membangkitkan kesadaran setiap orang untuk secara natural/alami dia kembali kepada Allah SWT atau bertaubat.
Oleh sebab itu, jika seseorang muslim menderita sakit maka hendakah dia bersedia memenuhi beberapa petunjuk dan menerima nasehat Allah dan Rasul-Nya berikut ini :
1. Harus bersikap sabar; yakni dia harus menerima musibah tersebut dengan kelapangan hati dan terus berusaha sedaya mampu untuk mengobati penyakitnya itu, sehingga sembuh kembali. Sabar merupakan salah satu norma akhlaq atau etika Islam, yang disamping akan membawa kebahagiaan serta ketenangan batin bagi yang bersangkutan, juga akan sangat dicintai Allah, sehingga Allah mengatakan bahwa orang-orang sabar akan dipenuhi seluruh pahalanya tanpa hisab, sebagaimana dikemukakan dalam surat al-zumar ayat ke-10 yang berbunyi:
قُلۡ يٰعِبَادِ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوۡا رَبَّكُمۡ ؕ لِلَّذِيۡنَ اَحۡسَنُوۡا فِىۡ هٰذِهِ الدُّنۡيَا حَسَنَةٌ ؕ وَاَرۡضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ ؕ اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوۡنَ اَجۡرَهُمۡ بِغَيۡرِ حِسَابٍ
Katakanlah (Muhammad), "Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu." Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.
Sejalan dengan ini Rasulullah SAW. menyatakan bahwa seorang yang sedang menderita sakit, lebih baik bersabar dari pada mengeluhkan penderitaannya, sebagaimana beliau nayatakan dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Dari Abu Hurairah ra. dia berkata, seorang perempuan pernah datang menemui Rasulullah, mintalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku, Beliau menjawab, jika saya mau untuk memohon kepada Allah, engkau akan sembuh. Tapi jika engkau mau bersabar, engkau akan memperoleh pahala tanpa hisab. Dia berkata, saya akan bersabar saja, agar memperoleh kenikmatan pahala tanpa hisab. ( H.R. Al-Baghawi )
Bahkan dengan keridloan dan kesabaran kita dalam menderita sakit, akan dapat mengurangi dosa-dosa kita serta dapat pula mnghilangkan segala dosa dan kesalahan kita sehingga kita kembali bersih dan suci, seperti ketika kita dilahirkan ibu, sebagaimana terlihat dalam salah satu haditsnya, beliau bersabda :
Artinya : Siapa yang menderita sakit satu malam, lalu dia sabar dan meridlokannya, sebagai suatu takdir dari Allah, maka dia akan keluar dari dosanya, seperti hari dia dilahirkan ibunya. (H.R. Tarmizi)
2. Terus berusaha untuk mengobati penyakitnya, sejauh mampu dan mungkin dengan berbagai cara dan pendekatan, dari mulai pendekatan medis melalui diagnosis penyakit dan memberikan obatobatan untuk menetralkan sumber penyakitnya, sampai melalui pendekatan doa‟-do‟a. Berobat melalui pendekatan medis, merupakan sesuatu yang diperintahkan Allah SWT. melalui RasulNya, sebagaimana terlihat dalam salah satu haditsnya, beliau bersabda :
Artinya : Dari Ibnu Mas‟ud ra, dia berkata, Bahwa Rasulullah SAW. bersabda, Allah tidak menurunkan penyakit melainkan Allah juga menurunkan obatnya. Oleh sebab itu berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. (H.R. Abu Daud)
Kendati menganjurkan bersabar, Rasulullah juga menganjurkan agar penderita sakit itu terus berusaha mengobati penyakitnya, dan Rasulullah SAW. memberi petunjuk yang cukup lengkap tentang anjuran berobat ini. Disamping memerintahkan untuk berusaha mengobati penyakit, beliau juga membuka sekat-sekat agama dan sekat-sekat gender dalam komunikasi pengobatan ini. Beliau membolehkan umat Islam untuk berobat dengan dokter yang beragama selain Islam.
Dan beliau juga membolehkan berobat dengan perempuan, jika memang dokter perempuan itu yang ahli dalam penyakit tersebut. Beliau pernah menyuruh salah seorang sahabatnya ketika di Madinah, untuk berobat dengan al-Harits bin Kaldah, padahal dia adalah seorang kafir Kitabi dari bangsa Yahudi. Sikap dan kebijaksanaan ini sejalan dengan prinsip dasar yang dikemukakan Allah SWT. dalam salah satu firman-Nya pada surat Ali Imran ayat ke-75 yang berbunyi :
وَمِنۡ اَهۡلِ الۡكِتٰبِ مَنۡ اِنۡ تَاۡمَنۡهُ بِقِنۡطَارٍ يُّؤَدِّهٖۤ اِلَيۡكَۚ وَمِنۡهُمۡ مَّنۡ اِنۡ تَاۡمَنۡهُ بِدِيۡنَارٍ لَّا يُؤَدِّهٖۤ اِلَيۡكَ اِلَّا مَا دُمۡتَ عَلَيۡهِ قَآٮِٕمًا ؕ ذٰ لِكَ بِاَنَّهُمۡ قَالُوۡا لَيۡسَ عَلَيۡنَا فِىۡ الۡاُمِّيّٖنَ سَبِيۡلٌۚ وَيَقُوۡلُوۡنَ عَلَى اللّٰهِ الۡكَذِبَ وَ هُمۡ يَعۡلَمُوۡنَ
Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf." Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui.
Dengan demikian, sekat-sekat keagamaan ini, dibuka oleh Rasulullah SAW. jika orang-orang kafir yang menjadi tumpuan harapan itu merupakan orang yang dapat dipercaya, bahwa mereka tidak akan berkhianat. Demikian pula dengan pengobatan yang dilakukan wanita terhadap pria, atau pria terhadap wanita. Kendati secara hukum mereka tidak boleh melihat auratnya satu sama lain, namun untuk keperluan pengobatan mereka dapat melakukannya, mereka termasuk dalam kategori dharurah, seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Menurut Rubayyi, binti Mu‟awwiz bin „Arfa‟, bahwa beliau membiarkan luka-luka para sahabatnya itu dibersihkan oleh perempuan.
3. Jangan tinggal sekamar dengan yang sehat, terutama bagi penderita sakit menular, karena akan berakibat buruk terhadap mereka yang sehat.
4. Banyak mengingat akan kematian, namun tidak boleh mengharapkannya. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan natural bahwa sakit merupakan proses awal kematian, karena kerusakan organ-organ tertentu akan mengganggu organ lainnya, dan kian parah rusaknya, maka akan kian lemah fungsifungsinya.
Oleh sebab itu setiap yang menderita sakit sebaiknya banyak mengingat akan kematian agar memperbanyak taubat kepada Allah SWT. terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya. Akan tetapi tidak boleh mengharapkan atau mencita-citakan kematian itu segera tiba, karena sikap tersebut menggambarkan sikap keputusasaan dan ketidaksabaran tehadap musibah yang menimpanya, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW. dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Dari Anas ra. dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, janganlah sekali-kali seseorang mengharapkan kematian, karena penyakit yang menimpanya. Dan sebaiknya dia berdo‟a, Allahumma ahyinii maa kaana al-hayaatu khairan lii, watawaffanii maa kaanat al- wafaatu khairan lii. (H.R.Al-Jama’ah)
Janganlah sekali-kali, karena beratnya atau lamanya menderita sakit, kita lantas berputus asa, sehingga memohon segera dimatikan oleh Allah SWT. atau melakukan bunuh diri, dengan mengambil sebilah pisau umpamanya, lalu menususkkan ke tubuhnya.
Tetapi, berdo‟alah : Yaa Allah, hidupkanlah daku, jika atau selama kehidupan itu baik bagiku, dan matikanlah daku, selama atau jika mati itu lebih baik bagi ku. Hal ini dinyatakan Rasulullah SAW. dalam salah satu hadits yang berbunyi :
Artinya : Ada orang dahulu kala sebelum kamu, seseorang menderita luka, hingga menggelisahkannya. (Karena gelisahnya), maka dia mengambil sebilah pisau, lantas menusukkannya ke tubuhnya. Belum sampai darahnya kering, dia telah meninggal.
Maka (oleh karena itu) Allah SWT berfirman :
Hamba-Ku mendahului kehendak-Ku, dia membunuh dirinya sendiri, karena itu Aku haramkan Surga atasnya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Itulah berbagai kewajiban serta larangan-larangan dan anjuran-anjuran atau nasehat yang harus diperhatikan oleh mereka yang sedang menderita sakit.
2. Kewajiban terhadap orang sakit
Apabila salah seorang dari tetangga atau saudara kita sakit, maka sebagai orang sehat kita diperintahkan untuk menjenguk mereka, agar dapat meringankan beban sakitnya, sebagaimana dikemukakan Rasulullah SAW. dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Dari Abu Hurairah ra. dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda : Kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya ada enam, yaitu apabila engkau menjumpainya, ucapkan salam untuknya, apabila dia mengundangmu, hendaklah penuhi undangannya itu, apabila dia minta (perlu) nasehat hendaklah beri dia nasehat, apabila dia berbangkis (bersin) dan mengucapkan tahmid, balaslah dengan ucapan do‟a, apabila dia sakit maka hendaklah engkau menjenguknya, apabila dia meninggal hendaklah engkau mengikuti dan mengantarkan jenazahnya ke perkuburan. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam menjenguk orang sakit, setiap muslim harus mengikuti norma etika yaitu:
1. Bersikap tenang dan sopan
2. Sedikit berbicara dan tidak berlama-lama
3. Memberi nasehat agar bersabar, serta menghibur mereka untuk membesarkan hatinya agar cepat sembuh dari penyakitnya.
4. Membacakan do‟a agar cepat sembuh. Salah satu do‟a yang diajarkan Rasulullah SAW. adalah :
Artinya : Ya Allah! Tuhan manusia, yang menghilangkan segala macam kesukaran, sembuhkanlah, karena Engkaulah yang sesungguhnya dapat menyembuhkan, kesembuhan yang sama sekali tidak meninggalkan sisa penyakit.
Do‟a ini diajarkan Rasulullah SAW. kepada para sahabatnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas dalam salah satu hadits yang berbunyi :
Artinya : Dari Tsabit dia berkata, saya berkata kepada Anas, wahai Ayah Hamzah, saya menderita sakit dan dia berkata, apakah kamu mau saya berikan jampi-jampi yang diajarkan Rasulullah SAW. dia menjawab iya, dia berkata, “Ya Allah Tuhan manusia, yang menghilangkan segala kesusahan, sembuhkanlah, karena Engkaulah yang dapat menyembuhkan, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit sama sekali”.(H.R.Turmuzi)
Disamping itu disunnahkan pula untuk membacakan do‟a sebanyak tujuh kali sambil duduk disampingnya. Do‟a tersebut adalah berbunyi :
Artinya : Saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan Yang Menguasai „Arsy agar Dia dapat menyembuhkanmu.
Sebagaimana do‟a-do‟a lainnya, do‟a ini juga diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada sahabatsahabatnya, sebagaimana terdapat dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Dari Ibnu Abbas ra. dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, Barang siapa menjenguk orang sakit yang tidak juga hadir ajalnya, dan mengucapkan do‟a tujuh kali disampingnya, yaitu, “saya mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Tuhan Yang Menguasai „Arsy, agar menyembuhkanmu” Allah akan menyelamatkannya dari penyakit tersebut. (H.R. Abu Daud)
5. Memberikan bantuan untuk biaya pengobatan bila sangat diperlukan, atau membawakan buah tangan seperlunya
6. Mengingatkan atau menyarankan, manakala seorang muslim dalam keadaan menghadapi kematian, sedangkan dia mempunyai kelapangan atau kelebihan harta agar berwasiat untuk ibu bapaknya dan keluarganya yang terdekat, yang sangat membutuhkan atau untuk amal saleh (sosial) yang dibutuhkan masyarakat umum.
Sebagaimana diperintahkan Allah SWT. dalam firman-Nya yang berbunyi :
Artinya : Diharuskan atas kamu, mana kala kematian telah hampir jika mempunyai peninggalan (harta) yang banyak, memberikan wasiat (berwasiat) untuk ibu bapak dan keluarga terdekat dengan cara yang baik. Hal ini diwajibkan sebagai hak- kewajiban (bekal) atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah Ayat 180)
Wasiat tersebut tidak boleh melebihi dari sepertiga hartanya yang ditinggalkan dan wasiat tersebut sangat baik dapat diucapkan dihadapan keluarganya atau dituliskan pada waktu fikirannya masih sehat atau waras, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. kepada salah seorang sahabatnya, dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : “Ya Rasulullah, saya mempunyai harta yang cukup banyak, sedangkan saya tidak mempunyai ahli waris, kecuali seorang anak perempuanku. Bolehkah aku menyedekahkan (mewaqafkan) dua pertiga hartaku?”, Rasulullah menjawab : “Tidak Boleh”. Saya bertanya pula : “apakah saya boleh menyedekahkan, separoh hartaku?”, Rasulullah menjawab “Tidak”. Saya bertanya lagi : “Apakah saya boleh menyedekahkan sepertiga hartaku?”, Rasulullah menjawab : “Sepertigalah! Dan sepertiga itu sudah cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya), adalah lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta kepada manusia (bergantung pada belas kasihan orang). (H.R. Bukhari dan Muslim)
Wasiat itu, juga boleh ditujukan kepada perorangan yang bersifat umum atau kemasyarakatan, seperti yayasan sosial dan pendidikan atau organisasi sosial yang produktif, yang manfaatnya akan lama, seumpama badan wakaf, karena wakaf itu merupakan sedeqah jariyah, yang pahalanya akan mengalir terus, tiada putus-putusnya, sebagaimana dinyatakan Nabi SAW. dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Apabila seorang manusia meninggal dunia maka putuslah dari dia segala amalnya, kecuali dari tiga amal yang dilakukannya, ketika dia masih hidup, yaitu sedekah jariyah (waqaf), ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendo‟akannya. (H.R. Muslim).
Namun harus diingat bahwa wasiat atau waqaf itu harus secara tertulis dengan membubuhkan materai dan ditanda tangani oleh yang berwaqaf. Sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. dalam salah satu firman-Nya yang berbunyi :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah (seperti jual beli, sewa menyewa atau berwasiat) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah orang (penulisnya) diantara kamu menulis dengan benar dan adil.
(QS. Al-Baqarah:282)
7. Menasehati dan memesankan agar dia menjelaskan segala hutang piutang, janji, amanah dan lain-lain yang merupakan tanggung jawabnya, yang belum terselesaikan kepada keluarga terdekat. Karena hutang yang dia tinggalkan, sedangkan semasa hidupnya ia mampu untuk membayar atau melunasinya, maka penyelesaiannya atau pembayarannya (pelunasannya) nanti akan diambil dari kebaikan atau pahala amalnya, karena emas dan perak atau dinar tidak ada lagi dan tidak laku lagi, sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW. dalam sallah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Dari Ibnu Umar, Nabi SAW. bersabda: “Hutang itu dua macam. Maka siapa yang mati, meninggalkan hutang, sedangkan dia waktu berhutang berniat akan membayarnya”, kata Nabi SAW. : “Akulah yang akan membayarnya. Dan siapa yang mati sedangkan dia tidak berniat akan membayar hutangnya, maka pembayarannya akan diambil dari kebaikan (pahala amal) nya, karena diwaktu itu tidak ada dinar dan dirham untuk pembayarannya lagi”. (H.R Thabrani).
Sejalan dengan bunyi hadits diatas, Rasulullah SAW. menyatakan bahwa seorang yang meninggal dengan membawa hutang, jiwanya atau rohnya akan tergantung, yakni tidak sampai kehadirat Allah SWT. karena hutangnya belum dibayar. Sebagaimana beliau nyatakan dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Bersabda Nabi SAW. “Jiwa seorang mukmin itu tergantung, yakni tidak sampai kehadirat Allah, karena hutangnya belum dibayar, hingga dilunasi lebih dahulu hutang itu oleh pemiliknya (ahli warisnya)”. (H.R. Ahmad dan Turmuzi)
8. Apabila penderita sudah parah dengan penderitaan penyakitnya, maka bimbinglah dia dengan kalimatkalimat tauhid, agar mengakhiri hidupnya dengan kalimat-kalimat yang baik menuju Allah SWT. karena Rasulullah SAW. memberi jaminan bahwa mereka yang mengakhiri hidupnya dengan kalimat tauhid, akan memperoleh kebahagiaan kelak di akhirat, sebagaimana dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya yang berbunyi:
Artinya : Dari Mu‟az ra. dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, barang siapa mengakhiri hidupnya dengan kalimat Laa ilaaha illallah, niscaya dia akan masuk surga. (H.R. Abu Daud)
Sehubungan dengan itu, orang yang mendampingi kematian seseorang harus membimbing yang sedang menghadapi sakratul maut dengan kalimat-kalimat tauhid, sebagaimana Rasulullah SAW. pesankan melalui salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Dari Abu Sa‟id Al-Khudri ra., dia berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda, bimbinglah orang yang menjelang kematiannya diantara kamu dengan kalimat “laa ilaaha illallah”. (H.R. Al-Bukhari)
Sesuai dengan konteks haditsnya ini, maka talqin (bimbingan kalimat tauhid) terhadap orang meninggal dunia, hanya bisa diberikan (diajarkan) adalah saat menjelang kematiannya, yakni saat akan memasuki sakrat al-maut, bukan sesudahnya, apalagi kalau sudah berada diliang lahat, mereka sudah tidak bisa berkomunikasi lagi dengan suara-suara dunia, karena organ-organnya sudah tidak berfungsi, hal ini senada dengan firman Allah SWT. dalam salah satu ayat pada surat Al-Fathir ayat ke-22 :
Artinya : Dan tidak pula sama orang yang hidup dengan orang yang mati. Sungguh, Allah memberi pendengaran kepada siapa yang Dia kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat atau bisa mendengar.
9. Memejamkan mata si mayat dan mendo‟akannya, yakni apabila telah jelas kematian si sakit segeralah memejamkan matanya dan mengatupkan mulutnya, agar tidak menimbulkan pandangan yang tidak menyenangkan. Kemudian do‟akanlah dengan do‟a yang singkat, memohonkan ampunan Allah SWT. baginya. Jangan ada keluarganya yang meratapi, melolong-lolong dan memukul-mukuli badan atau mencabik-cabik pakaian, seperti tingkah laku orang orang jahiliyah dahulu, sebagaimana diajarkan Nabi SAW. dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Rasulullah SAW. masuk menjenguk Abi Salamah ketika matanya telah pudar (meninggal) maka dipejamkannya sambil berkata, “Sesungguhnya apabila roh telah melayang, mata pun menurutinya, maka setelah mendengar ucapan Nabi itu, ramailah keluarganya meratapinya. Nabi SAW. bersabda: “Janganlah kamu menyeru (mendo‟akan) atas dirimu, kecuali yang baik-baik saja, karena malaikat akan mengaminkan apa yang kamu ucapkan”. Kemudian nabi SAW. berdoa, “Ya Allah, ampunilah Abi Salamah dan tinggikanlah derajatnya ketingkat orang-orang yang memperoleh hidayah di surga, lapangkanlah baginya dalam kubur dan sinarilah dia didalamnya serta gantilah dia didalam keluarganya”. (H.R. Muslim)
10. Menutup tubuhnya dengan kain, yakni setelah mendo‟akan dengan singkat, maka tutuplah tubuhnya dengan selembar kain panjang biasa, karena sesungguhnya Rasulullah SAW. ketika beliau wafat ditutupi dengan selembar kain buatan hibarah (Yaman) yang bercorak, sebagaimana dijelaskan dalam salah satu hadits Nabi SAW. yang berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW. ketika dia wafat ditutupi dengan selembar kain buatan hibarah (Yaman) yang bercorak. (H.R.Bukhari dan Muslim)
11. Selanjutnya memberitahukan kepada keluarga dan sahabat terdekat tentang kematiannya, agar keluarga, sahabat, teman dan handai taulannya, dapat mengetahui dan dapat melakukan ta‟ziyah serta shalat jenazahnya dan mengantarkan ke kuburan, sebagaimana diajarkan Nabi SAW. dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah mengabarkan kepada para sahabatnya, tentang kematian Najasyi (Raja Habsyi) pada hari wafatnya, demikian pula ia mengabarkan meninggal (gugur)nya Ja‟far bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah serta Abdurrahman bin Rawwahah (ketika mereka gugur dalam perang mut‟ah). (H.R. Bukhari dan Muslim)
12. Kemudian menyegerakan penyelenggaraan jenazah, yaitu memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkannya, janganlah diperlambat karena menanti orang-orang yang jauh, sebab menahan mayat dirumah dalam waktu yang lama, adalah akan merugikan mayat itu sendiri, sebagaimana Nabi SAW. memerintahkan dalam salah satu haditsnya yang berbunyi :
Artinya : Percepatlah jenazah, kalau jennazah itu baik, kamu telah mendekatkannya kepada yang terbaik dan kalau tidak demikian, maka kamu akan melepaskan yang jelek itu dari bahumu. (H.R. Jama’ah)